Kamis, 20 Januari 2011

Sejarah lagu terlarang





                                                         'GENJER-GENJER',
                                                       konon terkait dengan PKI



                                       Genjer- genjer mlebu kendil wedange gemulak
                                         Setengah mateng dientas yong dienggo iwak
                                           Sego nong piring sambel jeruk ring ngaben
                                                Genjer-genjer dipangan musuhe sego


     Sebelum pendudukan tentara Jepang pada tahun 1942, wilayah Kabupaten Banyuwangi termasuk wilayah yang secara ekonomi tak kekurangan. Apalagi ditunjang dengan kondisi alamnya yang subur. Namun saat pendudukan Jepang di Hindia Belanda pada tahun 1942, kondisi Banyuwangi sebagai wilayah yang surplus makanan berubah sebaliknya.


Karena begitu kurangnya bahan makanan, sampai-sampai masyarakat harus mengolah daun genjer (limnocharis flava) di sungai yang sebelumnya oleh masyarakat dianggap sebagai tanaman pengganggu.

     Situasi sosial semacam itulah yang menjadi inspirasi bagi Muhammad Arief, seorang seniman Banyuwangi kala itu untuk menciptakan lagu genjer-genjer. Digambar oleh M Arif bahwa akibat kolonialisasi, masyarakat Banyuwangi hidup dalam kondisi kemiskinan yang luar biasa sehingga harus makan daum genjer. Kisah itu nampak dalam sebait lagu genjer-genjer diatas.
Seiring dengan perkembangan waktu dan Indonesia mencapai kemerdekaan, Muhammad Arief sebagai pencipta lagu genjer-genjer bergabung dengan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang memiliki hubungan ideologis dengan Partai Komunis Indonesia.

     Maka lagu inipun segera menjadi lagu popular pada masa itu, bahkan dalam pernyataannya kepada penulis, Haji Andang CY seniman sekaligus teman akrab M Arief di Lekra serta Hasnan Singodimayan, sesepuh seniman Banyuwangi menyebutkan bahwa lagu genjer-genjer menjadi lagu populer di era tahun 1960-an, dimana Bing Slamet dan Lilis Suryani penyanyi beken waktu itu juga gemar menyanyikannya dan sempat masuk piringan hitam.

     Kedekatan lagu genjer-genjer dengan tokoh-tokoh Lekra dan komunis memang tak dapat dipungkiri. Bahkan dalam sebuah perjalanan menuju Denpasar, Bali pada tahun 1962, Njoto seorang seniman Lekra dan juga tokoh PKI sangat kesengsem dengan lagu genjer-genjer. Waktu itu Njoto memang singgah di Banyuwangi dan oleh seniman Lekra diberikan suguhan lagu genjer-genjer. Tatkala mendengarkan lagu genjer-genjer itu, naluri musikalitas Njoto segera berbicara. Ia segera memprediksikan bahwa lagu genjer-genjer akan segera meluas dan menjadi lagu nasional. Ucapan Njoto segera menjadi kenyataan, tatkala lagu genjer-genjer menjadi lagu hits yang berulangkali ditayangkan oleh TVRI dan diputar di RRI (Lihat Jurnal Srinthil Vol. 3 tahun 2003).
Genjer Genjer Phobia

     Entah apa yang salah dengan genjer-genjer sebagai sebuah produk kebudayaan? Selepas PKI dan orang-orang PKI, berikut anak cucunya dihancurkan oleh orde baru, tak terkecuali pula lagu genjer-genjer yang sebenarnya adalah lagu yang menggambarkan potret masyarakat pada jaman pendudukan Jepang. Mungkin steriotype lagu genjer-genjer menjadi lagu komunis dan patut dihancurkan muncul atas beberapa faktor. Pertama; sejak awal lagu ini berkembang dan dikreasi oleh kalangan komunis dan dikembangkan oleh kalangan komunis pula.

     Walaupun pada perkembangannya pada era tahun 1960 an lagu ini tidak hanya digemari oleh kalangan komunis, tetapi juga masyarakat secara luas. Namun orde baru menerapkan politik bumi hangus, maka seluruh produk apapun yang dilahirkan oleh orang-orang komunis haram hukumnya dan patut dihabisi. Kedua; Ketika peristiwa G 30 S tahun 1965 terjadi, Harian KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) memplesetkan genjer-  genjer menjadi jendral-jendral. Dalam catatan pribadinya Hasan Singodimayan, seniman HSBI dan teman akrab M Arief menuliskan bahwa lagu genjer-genjer telah dipelesetkan.

                                                      Jendral Jendral Nyang ibukota pating keleler
                                                         Emake Gerwani, teko teko nyuliki jendral
                                                      Oleh sak truk, mungkir sedot sing toleh-toleh
                                                              Jendral Jendral saiki wes dicekeli

                                                         Jendral Jendral isuk-isuk pada disiksa
                                                               Dijejer ditaleni dan dipelosoro
                                                    Emake Germwani, teko kabeh milu ngersoyo
                                                           Jendral Jendral maju terus dipateni


     Akibat penulisan lagu genjer-genjer menjadi jendral-jendral, maka kian kuatlah alasan orde baru untuk membumihanguskan lagu ini. Pada perkembangannya, siapapun yang tetap menyanyikan lagu ini akan ditangkap oleh aparat keamanan, tentu dengan tuduhan komunis.Karena larangan menyanyikan lagu genjer-genjer, maka beberapa seniman gandrung di Banyuwangi juga dilarang untuk menyanyikan lagu genjer-genjer, dan beberapa lagu dan gendhing yang memompa kesadaran politik massa-rakyat.

     Para seniman-seniman gaek pada masa itu seperti Hasnan Singodimayan, dan Haji Andang CY juga merasa heran dengan munculnya lirik lagu genjer-genjer yang sedemikian mendeskreditkan petinggi-petinggi militer waktu itu. Namun apalah kuasa orang-orang lemah waktu itu. Sudah jatuh tertimpa tangga pula, mungkin itulah ungkapan yang patut untuk menggambarkan kondisi seniman-seniman rakyat yang kebanyakan berafiliasi dengan lekra. Jangankan mengoreksi lagu genjer-genjer, menyelamatkan diri mereka saja susah.
Rehabilitasi Kultural

     Kini kita telah memasuki babakan politik baru, sebuah babakan politik yang digadang-gandang akan menarasikan kebebasan. Konsep kebebasan menjadi pilar penting bagi episode kehidupan yang bertemakan demokrasi. Kalau memang saat ini kita bersungguh-sungguh membuat tema kehidupan tentang demokrasi, maka ada hal hal penting yang menurut hemat penulis diperhatikan, khususnya yang menyangkut politik-kebudayaan.
Pertama; Alam demokrasi harus memberikan tempat yang setara bagi segenap kalangan, tanpa memandang latar belakang kultural, agama, dan politik. Konsekuensinya, seluruh produk kebudayaan apapun bentuknya diperkenankan tampil kembali menghiasai ruang publik, dan diserahkan kepada pasar politik untuk memberikan penilaian. Itu artinya, produk-produk kebudayaan yang pada masa lalu dikambinghitamkan tanpa argumentasi mestinya diberikan ruang pemulihan kembali untuk tampil mengisi khasanah kebudayaan Indonesia. Sebagai contoh yang paling nyata adalah kesenian genjer-genjer.
Kedua; Negara melalui otoritas regulasinya semata-mata diletakkan sebagai fasilitator yang menaungi seluruh produk kebudayaan yang muncul dan dikembangbiakkan oleh rakyat. Regulasi Negara tidak lagi menjadi mesin pemangkas yang setiap saat menghabisi produk-produk kesenian rakyat. Dalam rangka sebagai fasilitator itu, negara selayaknya menaruh jarak yang sama dengan semua produk kebudayaan rakyat.

SUMBER : ://fikiran-ku.blogspot.com/2009/..tp.er-genjer.html

                 Luncurkan 3.000 Keping, Langsung Distop

        Lagu berjudul Genjer-Genjer ciptaan M. Arif, warga Banyuwangi, dicap identik dengan organisasi terlarang PKI. Ketika penyanyi muda Banyuwangi, Catur Arum, merilis kembali lagu tersebut, kasetnya langsung ditarik dari peredaran.

                                                           Njer Genjer uripe nang tengah kedhokan.

                                                             Njer genjer uripe pating keleleran.

                                                     Kaidek eman-eman di petik sopo hang doyan.

  






Itulah beberapa larik syair lagu yang ditulis ulang Amang dan dipopulerkan oleh penyanyi muda Banyuwangi, Catur Arum, pada tahun 2006 lalu.
Awalnya, lagu itu banyak yang memburu. Selain liriknya menceritakan kehidupan orang kecil, aransemennya juga lumayan disukai. Hanya dalam waktu sehari, kaset yang saat itu dicetak 3.000 keping itu pun laris manis.
Sayangnya, lagu yang menceritakan perjuangan masyarakat miskin di tengah mahalnya kebutuhan pokok itu harus dicekal. Setelah mencetak 3.000 keping, hingga kini kaset Genjer-Genjer tersebut raib.
Di berbagai bidak pedagang kaki lima (PKL) penjual video compact disc (VCD) di sekitar taman Sri Tanjung, kaset itu sudah tak ditemukan lagi. Beberapa penjual VCD mengaku tidak tahu-menahu mengenai lagu tersebut. ''Maaf, saya tidak tahu lagunya. Di sini saya tidak menjual lagu itu,'' kata Roni, seorang pedagang VCD.
Dihubungi secara terpisah, Catur Arum mengakui dirinya pernah menyanyikan lagu tersebut. Proses rekaman berlangsung selama tiga bulan. Album tersebut diproduseri oleh DHGP Surabaya. Selama membawakan lagu tersebut, tidak pernah terlintas sedikit pun di benak Catur untuk membangkitkan kenangan masa lalu tentang G 30 S PKI.
Menurut Catur, lagu itu hanya menceritakan kehidupan masyarakat miskin yang susah mencari makan. ''Sebagai penyanyi, saya membawakan tanpa ada unsur apa pun,'' katanya.

     Catur menambahkan, album yang dibuatnya tersebut merupakan album campuran dengan beberapa lagu Banyuwangi lainnya. ''Saya juga bingung, katanya tidak boleh diproduksi lagi. Sebagai penyanyi, saya tidak ada kerugian apa pun. Tetapi, kasihan pihak produser yang sudah rugi besar,'' katanya.
Amang, warga Kelurahan Kalirejo yang juga sebagai penulis ulang lagu tersebut, mengatakan bahwa pada tahun 2006 lalu tiba-tiba terlintas di benaknya untuk mengaransemen lagu tersebut. Setelah ditulis dan diaransemen, ternyata lagu itu diterima masyarakat. Saat itu, pihak produser langsung mencetak 3.000 keping kaset. ''Entah mengapa, tiba-tiba pihak produser tidak mencetak ulang lagi,'' katanya.
Menurut informasi yang didengarnya, lagu tersebut telah dicekal. Tetapi, siapa yang melakukannya, Amang mengaku tidak tahu-menahu. Padahal menurutnya, pembuatan kaset tersebut tidak ada muatan apa pun. ''Saya hanya ingin masyarakat Banyuwangi dan masyarakat lain tahu apa itu genjer,'' katanya.
Amang mengaku tidak ada niat sedikit pun untuk mengungkap lagi sejarah kelam masa silam itu. Dirinya hanya ingin menciptakan sebuah lagu yang enak didengar, dan diterima masyarakat.

sumber : jawapos

0 komentar:

Posting Komentar